ISLAMIC WORLDVIEW

KONSEP AGAMA DAN MAKNA ISLAM

                                                Hendiana Mustofa

A.    Pengertian Agama

Dalam Musyawarah Antar Agama di Jakarta, 30 Nopember 1967, terkait dengan agama, H.M. Rasjidi mengatakan bahwa agama adalah hal yang disebut sebagai  problem of ultimate concern, oleh karenanya tidak mudah didefinisikan. Mukti Ali menunjukkan tiga alasan mengapa agama sulit didefinisikan, yaitu pertama, pengalaman keagamaan bersifat batiniah dan subjektif. Kedua, membahas arti agama selalu melibatkan emosi.Ketiga, arti agama dipengaruhi oleh tujuan orang yang mengartikan agama tersebut.

Agama secara etimologi berasal dari bahasa Arab aqoma yang berarti menegakkan[1]. Sementara kebanyakan ahli mengatakan bahwa agama berasal dari bahasa Sansakerta dari kata gam yang berarti pergi. Ketika memaknai awalan a, i,  atau u yang panjang dan berakhiran a, maka artinya menjadi jalan. Maksudnya jalan kehidupan, jalan agar sampai kepada Tuhan.Agama bukan berasal dari a + gama, yang berarti tidak + kacau. Tapi agama terbentuk dari susunan a + gam + a, yang berarti jalan kehidupan.[2]Selain dua pandangan tersebut kata agama sering disejajarkan dengan kata majemuk negara kertagamayang berarti peraturan tentang kemakmuran agama, atau juga dengan kata majemuk asmaragama yang berarti peraturan tentang asmara, dengan kata lain agama dalam hal ini dapat diartikan peraturan atau tata cara.

Agama, yang dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman disebutreligion atau dalam bahasa Belanda disebut religie, diambil dari bahasa Latin, yaitu relegere ( to treat carefully), relegare (to bind together) danreligare (to recover).[3] Di Barat sendiri agama dianggap sebagai fanatisme, kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan “ My religion is song, sex, sand and champagne” juga masih dianggap waras, mungkin ini yang disinyalir al-Quran; ara’ayta ittakhadha ilaahahu hawaahu (QS 25:43).

Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mendefinisikan religion tapi gagal. Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu, mereka terpaksa menafikan agama lain. F. Schleiermancher mendefinisikan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “Rasa ketergantungan yang absolut” (feeling  of absolute dependence). Demikian pula Whithehead, agama adalah “Apa yang kita lakukan dalam kesendirian”. Sejatinya, akar kebingungan Barat mendifinisikan religionkarena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat - Kristen – kata Armstrong dalam History of God justru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan. Padahal, Yesus sendiri tak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan.[4]

Dalam istilah Islam, Agama diungkapkan dengan kata din dan millah. Menurut ar-Raghib al-Ashfahani, din makna asalnya ta’at dan balasan. Artinya, agama menuntut keta’atan dan menyediakan balasan.[5]  Moenawar Chalil menjelaskan bahwa: “Kata din itu mashdar dari kata kerjadaana- yadienu. Menurut lughat, kata din itu mempunyai arti bermacam-macam, antara lain: 1) cara atau adat istiadat, 2) peraturan, 3) undang-undang, 4) taat atau patuh, 5) Menunggalkan ketuhanan, 6) pembalasan, 7) perhitungan, 8) hari kiamat, 9) nasihat, 10) agama.[6] Secara khusus Islam memberikan definisi din sebagai berikut:

“ Nama sesuatu yang disyari’atkan Allah kepada hamba-hambanya. Melalui lisan para nabi untuk menghampirkan mereka ke hadirat Allah”.

Perbedaannya dengan millah terletak pada penyandarannya saja. Jikadin disandarkan pada Allah dan manusia. Maka millah hanya disandarkan kepada seorang nabi, seperti millah ibrahim. Tidak akan ditemukan din ibrahim, ada juga din Allah dan din kalian.

Kata din itu sendiri tidak eksklusif milik Islam semata, kareana dalam al-Quran kata din juga diungkapkan untuk menyebut agama selain Islam, perhatikan misalnya firman Allah swt berikut:

            Bagi kalian (orang-orang kafir) din kalian, dan bagiku din-ku. (QS. Al-Kafirun, 109:6)[7]

Berkaitan dengan definisi formal “agama” tidak ditemukan satu definisi yang utuh dan sama. Dalam wacana pemikiran Barat sendiri telah terjadi polemik yang tidak berkesudahan, baik di bidang ilmu filsafat agama, teologi, sosiologi, antropologi, maupun bidang ilmu perbandingan agama sendiri. Saking sulitnya, bahkan sampai dikatakan mustahil mendefinisikan agama, maka beberapa ilmuwan Barat, seperti W.C. Smith, menyatakan bahwa agama tidak mungkin didefinisikan.

Akan tetapi, Muhammad ‘Abdullah Darraz, dalam karyanya, ad-Din Buhuts Mumahhidah li Dirasat al-Adyan (Agama: Catatan Pengantar Studi Agama) mengeluarkan 14 definisi agama dari para ahli Barat dari berbagai disiplin ilmu. Ia menyimpulkan bahwa agama itu dapat didefinisikan dari dua aspek: Pertama, sebagai keadaan psikologis (etat subjectif), yakni: relijiusitas; dengan demikian agama adalah kepercayaan atau iman kepada Zat yang bersifat ketuhanan yang patut disembah dan ditaati. Kedua,  sebagai hakikat eksternal (fait objectif),bahwa agama adalah seperangkat panduan teoritis yang mengajarkan konsepsi ketuhanan dan seperangkat aturan praktis yang mengatur aspek ritualnya.[8]

B.     Klasifikasi Agama

Dari sudut kajian teologis, para agamawan mengatakan bahwa-berdasarkan asal-usulnya- seluruh agama yang dianut oleh manusia dapat dikelompokkan dalam dua kategori.

Pertama, “agama kebudayaan” (cultural religions), disebut juga agama tabi’i atau agama ardhi, yaitu agama yang bukan berasal dari Tuhan dengan jalan diwahyu, melainkan agama yang ada karena hasil proses antropologis, yang terbentuk dari adat-istiadat dan melembaga dalam bentuk agama formal.

Kedua, “agama samawi” atau “agama wahyu” (revealed religions), yaitu agama yang dipercayai diwahyukan Tuhan melalui malaikat-Nya kepada utusan-Nya yang dipilih dari manusia. Agama wahyu ini disebut juga Dinul Haqq (Q.S. 48:28) atau agama yang full fledged; yaitu agama yang mempunyai nabi atau rasul, mempunyai kitab suci dan umat.[9]

              Menurut Ahmad Abdullah al-Masdoosi, dalam bukunya Living Religions of the World, mengklasifikasikan agama kepada tiga kategori, yaitu:

1.      Revealed and non-revealed (agama wahyu dan non-wahyu)

        Agama wahyu adlah agama yang mendasarkan ajarannya pada pesan yang disampaikan oleh para Nabi melalui kitab-kitabnya, dari Tuhan yang sama. Seperti Yudaisme, Kristen, dan Islam. sedangkan sisanya termasuk agama non-wahyu.

2.      Misionary dan non-misionary (agama misi dan non-misi)

        Agama misi adalah agama yang menyebarkan ajarannya kepada bangsa lain. T.W. Arnold memasukan Buddisme, kristen dan Islam kedalam agama misi. Sedangkan Yudaisme, Brahmanisme, dan Zoroasterianisme dimasukkan ke dalam agama non-misi.

3.      Geoghraphical-racial and universal (agama rasial geograpikal dan universal)


        Dilihat dari segi rasial dan geograpikal, agama-agama di dunia dapat dibagi atas: (a) Semitik, (b) Arya, dan (c)Monggolian. Yang termasuk Semitik adalah Yudaisme, Kristen, dan Islam. yang termasuk Arya adalah Hinduisme, Janisme, Sikhisme, dan Zoroasterianisme. Sedangkan yang termasuk kategori Monggolian adalah Confusianisme, Taoisme dan Shintoisme.[10]

     Berbeda dengan Ahmad Abdullah dan para teolog, para ilmuwan, yang diwakili oleh pakar antropologi budaya dan sosiologi agama –melalui kajian agama mereka (scientific aproach)-membedakan agama yang ada di dunia ini menjadi dua kelompokj besar, yaitu spiritualisme dan materialism.

1.      Spiritualisme

              Spiritualisme adalah agama penyembah sesuatu (Zat) yang gaib yang tidak tampak secara lahiriah, sesuatu yang tidak dapat dilihat dan tidak berbentuk. Spiritualisme ini terbagi lagi dalam beberapa kelompok berikut:

a.       Agama ketuhanan (theistic religion), yaitu agama yang penganutnya menyembah Tuhan (theos). Agama ini mempunyai keyakinan bahwa Tuhan adalah tempat manusia menaruh kepercayaan dan kecintaan kepada-Nya merupakan kebahagiaan. Agama ketuhanan –yang merupakan asal-usul istilah dari semua sistem kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan- mencakup kepercayaan terhadap satu atau banyak Tuhan, yakni sebagaimana berikut:

1)      Monoteisme, yaitu bentuk religi/agama yang berdasarkan kepada kepercayaan terhadap satu Tuhan yang terdiri dari upacara-upacara guna memuja Tuhan tadi.

2)      Politeisme, bentuk religi yang didasarkan pada kepercayaan akan adanya banyak Tuhan yang memiliki tradisi upacara keagamaan guna memuja Tuhan-Tuhan tadi. Dengan kata lain politeisme adalah  kepercayaan kepada banyak Tuhan.

b.      Agama penyembah roh, yaitu kepercayaan orang primitif kepada roh nenek moyang, roh pemimpin, atau roh para pahlawan yang telah meninggal. Mereka percaya bahwa yang telah meninggal itu dapat memberikan pertolongan dan perlindungan ketika manusia mendapat kesulitan.

Agama penyembah roh dapat dibagi dalam bentuk kepercayaan sebagai berikut:

1). Animisme, yaitu bentuk agama yang mendasarkan diri pada kepercayaan bahwa disekeliling tempat tinggal manusia itu diam berbagai macam roh yang berkuasa dan terdiri atas aktivitas pemujaan atau upacara guna memuja roh tadi.

2). Praanimisme, (dinamisme) atau penyembah kekuatan alam adalah bentuk agama yang berdasarkan kepercayaan kepada kekuatan sakti yang ada dalam segala hal. Para penganutnya pun memiliki aktivitas keagamaan untuk menguatkan kepercayaan tersebut.

2.   Agama Materialisme

Agama materialisme adalah agama yang mendasarkan kepercayaannya terhadap adanya Tuhan yang dilambangkan dalam wujud benda-benda material, seperti patung-patung manusia, binatang dan berhala-berhala atau sesuatu yang dibangun dan dibuat untuk disembah.  Tentang agama materialisme ini, dapat kita lihat dalam literatur tentang agama bangsa Arab sebelum Islam, atau dalam kepercayaan sebagian umat Nabi Musa yang membuat patung lembu –dipimpin oleh samiri- untuk disembah, atau dalam kepercayaan agama Majusi yang menyembah api suci.[11]

C.     Makna Islam

Makna Islam secara istilahy digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berbagai sabda beliau. Imam al-Nawawi dalam kitab haditsnya yang terkenal al–Arab’in al-Nawawiyyah menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua:

“Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesunguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakan sholat, menunaikan zakat, menunaikan shaum ramadhan dan menunaikan ibadah haji ke baitullah-jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (H.R Bukhari)

Pada hadits yang lain disebutkan , bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Islam ditegakan atas lima hal, persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, penegakan shalat, penunaian zakat, pelaksanaan haji ke baitullah, dan shaum ramadhan. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Pemahaman terhadap Islam sebagai satu nama agama, satu-satunya agama yang benar dan final, saat ini sedang menghadapi tantangan yang serius saat menghadapi serbuan istilah yang berasal dari peradaban lain. begitu banyak kata sifat yang ditempelkan di belakang Islam, sehingga menjadikan Islam seolah-olah Agama yang Plural. Misalnya istilah-istilah Islam radikal, Islam militan, Islam fundamentalis, Islam kultural, Islam struktural, Islam kiri, Islam salafi, Islam moderat, Islam eksklusif, Islam inklusif, Islam modernis, Islam tradisional, Islam liberal, Islam abangan, Islam jawa, Islam Arab dan sebagainya. Padahal Islam adalah satu, dan hingga kini Islam tetap agama yang masih satu.[12]

“pada hari ini telah ku sempurnakan bagimu agamamu dan aku cukupkan bagimu nikmatku dan aku ridhai Islam sebagai agamamu”. (Q.S. 5:3)

Ayat ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang diridhai Allah dan kata Islam dalam ayat ini menunjukan kepada agama yang diridhai Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan secara tegas nama agama ini diberi nama Islam setelah sempurna diturunkan Allah.[13]

D.    Islam sebagai Agama Wahyu

Allah swt menegaskan bahwa agama yang akan diterima disisi-Nya hanyalah Islam.

 (Q.S. Ali’imran 3:85)

Fakhrud-Din ar-Razi, dalam kitab tafsirnya, Mafalih al-Ghaib. Menjelaskan bahwa makna islam adalah: (1) Masuk dalam Islam, yakni tunduk dan mengikuti, (2) masuk dalam silm, yakni agama Islam, yang makna asalnya keselamatan dan (3) memurnikan sesuatu, maksudnya memurnikan agama dan aqidah hanya kepada Allah swt.

Imam at-Thabrani menguatkan pendapat ar-Razi dengan menyatakan bahwa Islam adalah tunduk dengan merendahkan diri dan khusyu. Berkaitan dengan hal itu Imam Ibn Katsir menegaskan bahwa Islam adalah mengikuti Rasul-rasul yang diutus Allah di setiap waktu sampai Rasul terakhir, yakni Muhammad saw, yang menyempurnakan jalan nabi-nabi sebelumnya.

Dari uraian para mufassir diatas, bahwa Islam adalah submission (penyerahan diri) hanya kepada Allah swt melalui ajaran para Nabi-Nya sampai Nabi Muhammad saw. Islam juga dengan sendirinya adalah sebuah nama dan sifat ajaran para Nabi, sejak Adam a.s sampai Muhammad saw.[14]

Istilah Islam meskipun secara bahasa berarti “pasrah” bukan berarti Islam hanya diartikan sebagai sikap pasrah kepada tuhan,  karena Islam adalah nama sebuah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, maka Islam juga mengajarkan “cara pasrah” yang benar kepada Allah swt.[15]

Secara terminologis disepakati oleh para ulama bahwa Islam adalah, kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia diturunkan ke muka bumi dan terbina dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam al-Quran yang suci dan diwahyukan Tuhan kepada nabi-Nya yang terakhir yakni Nabi Muhammad saw. Suatu kaidah hidup yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual maupun  material.

Dari definisi itu, dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui rasul-rasul-Nya, berisi aturan dan norma-norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia-dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Islam adalah agama yang universal, satu-satunya agama yang benar disisi Allah (Q.S. Ali’Imran [3]: 19 dan 85). Selain itu pula, agama yang diturunkan Allah ke muka bumi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad saw. Sebagai syari’at terakhir (Q.S. al-Maidah [5]: 3 dan Q.S. al-Ahzab [33]: 40) dan merupakan penyempurna terhadap agama-agama sebelumnya (Q.S. al-Maidah [5]: 58; Q.S. Ali’Imran [3]:3)[16]

Islam bisa dikatan satu-satunya agama wahyu (revealed religion) ini bisa dilihat dari berbagai indikator:

Pertama, diantara agama-agama yang ada, hanya Islam-lah yang namanya disebutkan dalam kitab sucinya. Kedua, dalam soal nama dan konsep Tuhan. Kosep tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan konsepsi tuhan dalam agama-agama lain. Ketiga, dalam soal ritual. Islam saat ini masih tetap menikmati ritual yang satu dan tak pernah berubah, karena bersumber dari dasar yang sama yaitu al-Quran dan Sunnah.[17]

E.     Karakteristik Ajaran Umat Islam

Dari berbagai sumber keputusan tentang islam yang ditulis oleh para tokoh atau ualamanya, dapat diketahui bahwa ajaran-ajaran islam memiliki karakteristik sebagai berikut:

1.      Konfrehensif

Ajaran islam membentuk umat dalam kesatuan yang bulat walau pun umat islam itu berbeda-beda bangsa dan berlainan suku. Didalam menghadapi asas-asas yang umum, umat islam bersatu padu, meskipun dalam suatu kebudayaan berbeda beda.

2.      Moderat

Ajaran islam memiliki jalan tengah, jalan yang imbang, tidak terlalu berat ke kanan mementiingkan kewajiban (rohani) dan tidak pula berat ke kiri mementingkan kebendaan (jasmani)

3.      Dinamis

Dari segi ini, ajaran islam mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ajaran islam tepancar dari sumber yang luas  dan dalam, yaitu islam yang memberikan kepada manusia sejumlah huku fositif yang dapat dipergunakan untuk segenap masa dan tempat.

4.      Universal

Ajaran islam tidak ditunjukan kepada satu kelompok atau bangsa tetentu, melainkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, sesuai dengan misi yang diemban oleh Rasulullah SAW.

5.      Elastis dan Fleksibel

Ajaran islam berisi disiplin-disiplin yang dibeban kan kepada sitiap individu. Disiplin-disiplin tersebut wajib ditunaikan dan berdosa bagi yang melanggarnya. Meskipun jalurnya sudah jelas membentang, namun dalam keadaan tertentu terdapat kelonggaran (rukhshah). Kelongaran-kelongaran tersebut menunjukan bahwa ajaran islam islam itu bersifat elastis,luwes, dan manusiawi.

6.      Tidak memberatkan

Manusia adalah mahluk dha’if (lemah), mempunyai kemampuan yang serba terbatas. Oleh sebab itu, syariat islam tidak membebani seseorang sampai melampui kadar kemampuannya. Sesuai dengan misi islam sebagai rahmat bagi manusia, maka islam datang untuk membebaskan manusia dari segala sesuatu yang memberatkannya.

7.      Graduasi (Berangsur-angsur)

Allah sebagai pembuat hukum adalah Maha bijaksana. Hukum dan ajaran yang diberikan kepada manusia secara psikologi sesuai dengan fitrahnya sendiri. Sangat sulit dilaksanakan bila hukum itu datang sekaligus. Oleh karena itu, Allah memberikannya secara berangsur-angsur.[18]

F.      Konsep Din Islam

Secara gamblang hadits dialog antara Nabi saw dan Jibril menggambarkan bagaimana struktur din Islam


Dari Abu Hurairah, ia berkata: Pada suatu hari Nabi saw tampak di tengah-tengah manusia, lalu jibril datang kepadanya dan bertanya: “Apa iman itu?” Beliau menjawab: Iman adalah kau beriman kepada Allah, malaikatnya, bertemu dengan-Nya, rasul-rasul-Nya, dan keu beriman pada kebangkitan.” Jibril bertanya lagi: “Apa Islam itu?” Beliau menjawab:“Islam adalah kauberibadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendikan shalat, mendirikan zakat yang fardlu, dan shaum Ramadhan.”Jibril bertanya lagi: “Apa ihsan itu?” Beliau menjawab: “Yaitu kau beribadah kepada Allah seolah-olah kau melihat-Nya, dan  jika tidak maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Jibril bertanya lagi: “Kapan kiamat itu?”Beliau menjawab: “tidaklah yang ditanya lebih tau daripada yang bertanya.  Tapi aku akan memberi tahu kepadamu tanda-tandanya: apabila seorang hamba sahaya melahirkan majikannya, apabila pengembala unta yang hitam bermegah-megah dalam bangunan.  Ada lima yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.  Kemudian Nabi Muhammad membaca ‘Sesungguhnya Allah, di sisi-Nyalah pengetahuan kiamat...).’ Setelah itu Jibril berpaling, dan Nabi Saw berkata: “Suruh dia kembali.” Tapi mereka tidak melihat seatu pun.  Maka Nabi Saw bersabda: “Itu adalah Jibril Ia datang mengajarkan agama kepada manusia.”[19]


Berkaitan dengan hadits diatas Imam al-Bukhari menyatakan: Fa ja’ala dzalika  kullahu dinan: Beliau (Nabi saw) Menjadikan semua itu agama.  Maksudnya agama itu adalah iman (aqidah), Islam (syari’ah), dan ihsan (akhlak).  Dalam hal ini, maka harus dibedakan antara “Islam” dalam sebuah pengertian agama/syari’at Allah kepada Nabi seperti telah dijelaskan sebelumnya, dengan “Islam” dalam pengertian sebagai salah satu ajaran dari agama Islam itu sendiri.  Dikaitkannya dengan rukun agama tersebut dengan tanda-tanda kiamat mengisyaratkan keterkaitannya dengan kehancuran tatanan masyarakat ketika agama (iman, Islam, dan ihsan) tidak diamalkan sebagaimana mestinya.  Dari hadits ini tampak jelas bagi kita bahwa Rasul saw mendefinisikan agama lewat amalan yang konkrit, bukan melalui sebuah pengertian yang teoritis dan filosofis.

Secara sederhana bisa dijelaskan  bahwa iman orientalisnya keyakinan atau aqidah.  Islam orientasinya pengamalan ibadah atau syari’at, sedangkan ihsan orientasinya menejemen diri atau akhlaq.  Oleh karenanya, jika hanya percaya adalanya Allah (iman) tapi tidak mau mengikuti syari’at Nabi (Islam) sebagaimana halnya musyrikin Jahiliyyah, maka itu tidak bisa disebut beragama Islam.  Atau, jika hanya mengikuti syaria’at Nabi (Islam) tanpa meyakininya (iman) seperti orang munafiq, itu pun tidak beragama Islam, demikian jika hanya percaya dan beribadah (iman dan Islam), tapi yidak berakhlaq mulia (ihsan) tidak dapat dikatagorikan beragama Islam yang benar.  Yang dua pertama (tidak iman-Islam) dikatagorikan kafir, sementara yang terakhir (tidak ihsan) dikatagorikan fasiq, tidak sampai kafir.  Islam sebagai agama dengan demikian harus mencakup iman, Islam dan ihsan. Jika tidak, tunggu saja kiamat semakin mendekat.[20]

1)      Antara Iman dan Islam

Penting untuk disinggung kembali dalam hal ini pengertian iman dan Islam.  Baik iman ataupun Islam, kedua-duanya mempunyai makna; makna hakiki dan makna tidak hakiki.  Iman/Islam yang hakiki adalah iman/Islam dalam bentuk yang sempurna.  Di antara contoh ayat tentang iman Islam yang hakiki adalah

Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang Shiddiqien ( orang-orang yang benar dalam keimanannya-pen)[21]

 (Tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.[22]


Sementara itu iman-Islam dalam pengertian yang tidak hakiki, adalah iman-Islam sebagai identitas saja, sekedar diikrarkan dan ia belum melaksanakan syari’at secara sempurna.  Meskipun demikian ia dikatagorikan muslim-mu’min yang haram diperangi dan divonis kafir.  Contoh ayat yang menjelaskan iman-Islam dalam pengertian identitas agama ini adalah:

 “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[56], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh...[23]

Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu...[24]

Singkatnya, “iman” dan “Islam” itu satu makna dalam arti “identitas agama” atau “ekspresi keagamaan yang sempurna”.  Dan itu terjadi jika dua kalimat tersebur disebutkan secara terpisah dan menyendiri; iman saja atau Islam saja.  Tapi jikalau iman dan Islam itu disebutkan dalam satu kalimat yang sama, maka maknanya ada perbedaan.  Iman orientasinya keyakinan, sedangkan Islam orientasinya amalan.  Seperti tercantum dalam hadits tentang iman, Islam dan ihsan di atas, atau yang disinggungkan dalam QS. Al-Hujurat diatas[25]

2)      Pluralisme Agama

Pluralisme berasal dari kata pluralism yang berarti jamak atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa inggris, pluralism memiliki tiga pengertian: 1. Pengertian kegerejaan; sebutan bagi orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan. 2. Pengertian filosofis: sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. 3. Pengertian sosio-politis: sesuatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi  aspek-aspek perbedaan yang karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut[26]

Dari makna pluralisme saja sudah terdapat ide yang mencurigakan kebenaran atau paham relativitas kebenaran.

Pluralisme dalam pengertian pertama adalah toleransi, dimana masing-masing agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain.

Pluralisme dalam artian kedua sudah tidak berpegang pada suatu apapun. Masyarakat harus menerima kenyataan bahwa  disana tidak ada kebenaran yang tunggal, artinya semua benar. Atau masyarakat tidak boleh  memiliki keyakinan bahwa agama dan kepercayaan mereka itu benar atau paling benar. Bahkan dalam satu pengertian, pluralisme mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.[27]

Ketika disandingkan dengan agama, maka pengertian pluralisme agama adalah koeksistensi antar-agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas, dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.

Menurut Syamsuddin Arif, fakta bahwa agama yang ada di dunia ini sangat banyak, telah melahirkan dua aliran pemikiran besar. Yaitu skeptisime dan relativisme. Kaum skeptis menyatakan bahwa agama beragamnya agama tersebut menjadi pembenaran bahwa kebenaran dalam agama itu tidak ada. Sedangkan kaum relativis  justru menilai sebaiknya, beragamnya agama  merupakan sebuah fakta bahwa kebenaran itu tidak satu, ia ada pada setiap agama

Anis Malik Thoha, dalam hal ini menguraikan dua madzhab pluralisme yaitu, Humanisme sekuler dan teologo global. Humanisme adalah paham kemanusian yang menjadikan manusia sebagai pusat dari segala paham. Disebut sekuler karna pada hakikatnya ia sudah keluar dari agama, dengan mengajukan paham tersendiri tentang kemanusiaan.  Dari aspek kemanusiaan itulah maka semua agama bisa dinilai sama. Bahkan ekstremnya, semua paham keagamaan harus segera dihapuskan  dan diganti dengan satu paham saja, yakni kemanusiaan.

Sementara teologi global, diantaranya dikemukakkan oleh W.C. Smith, mengemukakan perlunya agama baru yang berlaku secara global. Seiring globalisasi. Paham-paham keagamaan yang dinilai lokal, dengan sendirinya harus dilebur sehingga menjadi teologi global.[28] 

Di Indonesia ada beberapa cendikiawan Muslim yang gencar mengkampanyekan pluralisme agama. Gagasan yang diusungnya ada dua corak, pertama, meyakini bahwa semu agama akan mendapatkan keselamatan, dKristen ) akan mendapatkan keselamatan.

Untuk  corak gagasan pertama, bisa di simak dari penyataan Budhi Munawar Rahman berikut ini yang mengusulkan adanya perombakan basis teologi Islam:

Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah prulalisme anaragama, yakni pandangan bahwa siapapun yang beriman –tanpa harus melihat agamanya apa-adalah sama dihadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.

Dari segi teologi Islam, harusnya ini tidak jadi masalah. Al-Quan menegaskan bahwa keselamatan di hari akhir hanya tergantung kepada apakah seseorang itu percaya kepada Allah, percaya kepada hari akhirat dan berbuat baik.[29]

3)      Antara Toleransi dan Pluralisme

Reiterpetasi terhadap basis teologi seperti di usulkan oleh kalangan pemikir Muslim yang menamakan dirinya liberal, inklusif, dan pluralis, tampak sekali terlalu dipaksakan. Hal itu dikarnakan Islam hanya mengajarkan toleransi; sebatas menghormati agama lain, bukan pluralisme dalam arti mengikuti kebenaran agama lain. Adanya hambatan teologis seperti dilakukan oleh mereka, sebenarnya tidak berdasar sama sekali. Alasannya, karena sejarah Islam dan umat Islam dari sejak zaman Nabi hingga beberapa abad sesudahnya, termasuk hari ini, karena basis teologi yang diajarkan Islam sudah cukup jelas dan mudah untuk diaplikasikan.

Menurut Yusuf al-Qardawi, alquran memang telah menempatkan Yahudi dan Nasarani dalam hubungan “keturunan” dan “kekerabatan”, berakar pada agama yang satu, yang dengannya seluruh nabi diutus oleh Allah swt.  Oleh karena itu, Alquran sering memanggil mereka, “wahai ahli kitab,” atau “Wahai orang yang diberi kitab.”  Para ahli kitab pun jika mereka membaca Alquran pasti akan mendapatkan pujian terhadap kitab suci, rasul-rasul, dan nabi-nabi mereka.  Karenanya, apabila kaum muslimin berdiskusi dengan mereka hendaklah mereka menghindari kecongkakan yang hanya akan menyakitkan hati dan membangkitkan permusuhan.

Senada dengan Yusuf al-Qardawi,M. Quraish Shihab juga menekankan pentingnya dialog dengan metode yang paling baik tersebut.  Ia menegaskan, sebenarnya yang diharapkan dari semua pihak termasuk ahli kitab adalah kalimat sawa’ (kata sepakat).  Dan kalau ini tidak ditemukan, maka cukuplah mengakui kaum muslim sebagai umat beragama Islam, jangan diganggu dan dihalangi dalam melaksanakan ibadahnya.

Kalimat sawa’ itu sendiri sebagaimana dijelaskan QS. Ali-Imran [3] : 64 adalah pengakuan akan kemahatunggalan Allah swt yang tidak ada sekutu baginya.  Maka Alquran mengingatkan pelanggaran Ahli Kitab mengenai hal tersebut dalam beberapa ayat, diantaranya: “Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya . Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari Ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan yang Maha Esa, Maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. cukuplah Allah menjadi Pemelihara.”[30] Dan dalam surat al-Maidah dinyatakan dengan tegas bahwa semua itu adalah bentuk kekufuran (pembangkangan) kepada Allah swt.[31]

Dari itu jelaslah bahwa sikap Alquran dalam hal konsep formal teologis tegas, tanpa kompromi.  Tetap menjelaskan secara qath’i mana yang benar dan mana yang salah, untuk demikian didialogkan dengan para Ahli Kitab, tetunya dengan cara hiya ahsan paling baik.  Jadi, walau perinsip toleran dibangun oleh Islam dalam interaksi umat antar agama, tetap saja konsep formal teologinya tidak diubah menjadi prularis.  Semua pihak, khususnya Ahli Kitab, dipersialahkan untuk mengambil sikap sesuai dengan kehendaknya sendiri, karena yang benar telah jelas, dan kedua-duanya pun sudah dijelaskan oleh Allah dengan sejelas-jelasnya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.[32]

4.      Konsepsi Iman dan Amal Shalih

Dengan kerangka seperti itu; menerima toleransi dan menolak pluralisme, maka konsepsi iman kepada Allah dan hari akhir, beserta amal shalihnya sebagaimana ditegaskan QS. Al-Baqarah [2] : 62 dan al-Maidah [5] : 69, tidak perlu ditentangkan lagi dengan ayat-ayat di atas.  Jangan lagi berasumsi bahwa Islam, Yahudi, dan Kristen sama-sama akan masuk surga asalkan cukup beriman kepada Allah, hari akhirat, dan beramal shalih aja.  Karena pertanyaannya, “Apakah umat yang menyekutukan Allah dan menolak kenabian Muhammad saw juga kitab Alquran, bisa dikatagorikan beriman kepada Allah dan beramal shalih?” Jawabannya tentu tidak.  Karena jika benar beriman kepada Allah, pasti semua titah-Nya akan dipenuhi, termasuk beriman kepada Nabi Muhammad saw dan Alquran.  Karena juga jika benar beramal shalih, pasti mereka akan mengamalkan apa yang telah dititahkan Allah, termasuk menaati Nabi Muhammad saw dan Alquran.

4)      Milah Ibrahim

Hal yang rancu terdapat pula dalam urayan mengenai teradisi agama Ibrahim, yang mereka sebut hanif dan muslim dengan penekanan sebuah agama “generik” yang jauh dari kesan sektarianisme dan komunalistik (agama golong).  Implikasinya, jika umat Islam hanya mengakui Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, maka mereka sudah tidak sesuai lagi dengan millah Ibrahim, karena sudah bersikap sektarian.

Millah Ibrahim itu bukan hanya hanif dan muislim, tapi juga wa ma kana minal-musyrikin; bukan termasuk orang-orang menyekutukan Allah.  Karena ternyata, dari delapan ayat yang menjelaskan millah Ibrahim,satu ayat saja yang tidak menyebutkan wa ma kana minal-musyrikin plusmuslimnya.  Sisanya, ketujuh-tujuhnnya menyatakan muslim dan wa ma kana minal-musyrikin.[33] Dan karena Yahudi juga sudah tidak muslim (berserah diri dan tunduk) dengan membangkan kepada Nabi ’Isa dan Muhammad saw, mereka pun tidak bisa lagi dikatagorikan millah Ibrahim.[34]




1.       Dr. Aroom Kuswanjono: Integrasi Ilmu dan Agama, Perspektif Filsafat Mulla Sandra. Yogyakarta: Kahfi Offset, 2010, hlm. 34-35

[2]               Dr. Nashruddin Syarief: Menangkal Virus Islam Liberal; Panduan Islamic Worldview untuk Para Aktivis Da’wah. Bandung: Persis Pers, 2010. Hlm. 103

[3]               Aroom Kuswanjono: Integrasi Ilmu dan Agama, hlm. 35

[4]               Hamid Fahmy Zarkasyi: Misykat; Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta; INSISTS-MIUMI, 2012, hlm. 20-22

[5]               Nashruddin Syarief:  Menangkal Virus Islam Liberal, hlm. 104

[6]               Aroom Kuswanjono: Integrasi Ilmu dan Agama, hlm. 35

[7]               Nashruddin Syarief: Menangkal Virus Islam Liberal, hlm. 104

[8]               Ibid, hlm. 105-106

[9]               Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si: Sosiologi Agama. Bandung; PT REMAJA ROSDAKARYA, 2000, hlm.35

[10]             Nashruddin Syarief: Menangkal Virus Islam Liberal,hlm.106-107

[11]             Dadang Kahmad, M.Si: Sosiologi Agama, hlm. 36-40

[12]             Adian Husaini M.A dkk.: Islamic Worldview; Konsep Islam sebagai agama wahyu. (2008) Hlm, 1-2.

[13]             Ibid,hlm 4.

[14]             Nashruddin Syarief: Menangkal Virus Islam Liberal, hlm. 107-109

[15]             Adian Husaini M.A dkk.: Islamic Worldview; Konsep Islam sebagai agama wahyu. (2008) Hlm,5.

[16]             Drs. H. Ali Anwar Yusuf, M.Si.: Studi Agama Islam, untuk Perguruan Tinggi Umum,  Bandung: PUSTAKA SETIA Bandung, 2003, hlm. 32-33

[17]             Adian Husaini M.A dkk.: Islamic Worldview; Konsep Islam sebagai agama wahyu. (2008) Hlm, 5-6.

[18]              Ibid,hlm.36-39

[19] .            Nashhruddin Syarief:menangkal virus Islam liberal, hlm. 120-121

[20]             Ibid, hlm. 121-122

[21]             QS. Al-Hadid [57] : 19

[22]             QS. al-Baqarah [2] : 112

[23]             QS. al-Baqarah [2] : 62

[24]             QS. Al-Hujurat [49] : 14

[25]             Ibid, hlm. 124

[26]             Ibid, hlm. 124-125

[27]             Hamid Fahmy Zarkasyi: Misykat, hlm. 138

[28]             Nasrhuddin Syarief: Menangkal Virus Islam Liberal, hlm. 125-127

[29]             ibid, hlm. 128-129

[30]             QS. An-Nisa [4] : 171

[31]             QS. al-Maidah [5] : 72-75

[32]             QS. Al-Baqarah [2] : 256

[33]             Periksa Qs. Al-Baqarah [2] : 135. Ali-Imran [3] : 67,95. Al-An’am [6] : 79, 161. An-Nahl [16] : 120,123.

[34]             Ibid, hlm. 134-142

Design by Admin 96 Visit Original Post Islamic2 Template